Minggu, 20 April 2014

PROSES BERPEKARA DI PERADILAN TUN

PROSES BERPEKARA DI PERADILAN TUN
 
Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi.
(skema terlampir -1)
Proses berpekara di Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Pendahuluan

  1. Pemeriksaan administrasi di Kepaniteraan
  2. Dismissal Prosedur oleh Ketua PTUN (Pasal 62 UU No.5/1986)
  3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No.5/1986)
b. Pemeriksaan Persidangan
  1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
  2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
  3. Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)
  4. Duplik (Pasal 75 ayat 2 UUNo.5/1986)
  5. Pembuktian (Pasal 100 UU No.5/1986)
  6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat 1 UU No.5/1986)
  7. Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)
c. Pembacaan Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)
  1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umu
  2. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua sidang salinan putusan ini disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan
  3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akibat putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
d. Materi Muatan Putusan (Pasal 109 UU No.5/1986)
  1. Kepala Putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
  2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa
  3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
  4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
  5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan
  6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
  7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak
e. Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 UU No.5/1986)
  1. Gugatan ditolak
  2. Gugatan dikabulkan
  3. Gugatan tidak diterima
  4. Gugatan gugur
f. Amar tambahan dalam putusan PERATUN (Pasal 97 ayat 8 & 9 UU No.5/1986)
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas berupa:

    1. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan
    2. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru
    3. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
g. Cara Pengambilan Putusan (Pasal 97 ayat 3, 4, dan 5 UU No.5/1986)
  1. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil Permufakatan Bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat Putusan diambil dengan suara terbanyak
  2. Apabila Musyawarah Majelis Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya
  3. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan
h. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa TUN 
Jangka waktu penyelesaian sengketa TUN adalah maksimal 6 bulan (SEMA No. 03 Tahun 1998 Tertanggal 10 September 1998). Apabila penyelesaian lebih dari 6 bulan Hakim/Majelis Hakim melaporkan kepada Mahkamah Agung (MA) disertai alasan-alasan.
i. Minutasi Putusan (Pasal 109 ayat 3 UU No.5/1986)
Putusan harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera/Panitera Pengganti yang turut bersidang selambat-lambatnya 30 hari sesudah Putusan diucapkan.
j. Pelaksanaan Putusan (Pasal 116 UU No.51/2009)

  1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat - lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
  2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
  3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
  4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
  5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
  6. Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
  7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.


sumber ; http://ptun-serang.go.id/index.php/proses-berperkara.html

Teori kewenangan dan sumber-sumber kewenangan (Atribusi, Delegasi dan Mandat)

Teori kewenangan dan sumber-sumber kewenangan (Atribusi, Delegasi dan Mandat)
oleh : Helmy Boemiya alias Boey
Dalam hukum tata pemerintahan pejabat tata usaha negara merupakan pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas. Dalam banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan mandat. Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu dipahami ialah mengenai kewenangan dan wewenang.
Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Beberapa pendapat ahli mengenai kewenangan dan wewenang dan sumber-sumber kewenangan sangatlah beragam, ada yang mengaitkan kewenangan dengan kekuasaan dan membedakannya serta membedakan antara atribusi, delegasi dan mandat.
  1. Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif/administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum public.
  2. Indroharto, mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusidelegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasiterjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.
  3. Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi  mengenai prosedur pelimpahannya berasal  dari suatu organ pemerintahan  kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat  menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan  asas ”contrarius actus”. Artinya, setiap perobahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan  perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan  dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur  pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung  jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi  mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat  menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
  4. S.F.Marbun, menyebutkan wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku  untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang itu dapat mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat kekuasaan hukum (rechtskracht).Pengertian wewenang  itu sendiri akan berkaitan dengan kekuasaan.
  5. Bagir Mananmenyatakan dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang mengandung arti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak  melakukan tindakan tertentu  Dalam hukum administrasi negara wewenang  pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui caracara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
  6. Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan dalam peraturan perundangundangan adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh UUD 1945 atau UU kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan :Original legislator, dalam hal ini di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk Undangundang Dasar dan DPR bersama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undangundang. Dalam kaitannya dengan kepentingan daerah, oleh konstitusi diatur dengan melibatkan DPD. Di tingkat daerah yaitu DPRD dan pemerintah daerah yang menghasilkan  Peraturan Daerah. Misal, UUD 1945 sesudah perubahan, dalam Pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan  kepada Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya. Dalam Pasal 22 ayat (1), UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU jika  terjadi kepentingan yang memaksa. Delegated legislator, dalam hal ini seperti presiden yang berdasarkan suatu undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah, yaitu diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. Misal,  Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2003, tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pasal 12 (1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan  pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.  Pengertian pejabat pembina kepegawaian pusat adalah Menteri.
  7. Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau  jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif  kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh  adanya suatu atribusi wewenang. Misal, dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009  Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Pasal 93  (1) Pejabat struktural  eselon I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri yang bersangkutan (2)  Pejabat struktural eselon II ke bawah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan. (3) Pejabat struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan diberhentikan oleh  Pejabat yang diberi pelimpahan wewenang oleh Menteri yang bersangkutan.
  8. Pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara, berbeda dengan pengertian  mandataris dalam konstruksi mandataris menurut penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan.  Menurut penjelasan UUD 1945 Presiden yang diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung  jawab kepada Majelis. Presiden adalah mandataris dari MPR, dan wajib menjalankan putusan MPR. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh  pemberi  mandat, dan  tidak terjadi  peralihan tanggung jawab. Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan, yaitu dari  redaksi pasal-pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Penerima dapat  menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada  penerima wewenang (atributaris)
    1. Huisman membedakan delegasi dan mandat  sebagai berikut : Delegasi, merupakan pelimpahan wewenang (overdracht van bevoegdheid);kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel uitgoefend worden ); terjadi peralihan tanggung jawab(overgang van verantwoordelijkheid); harus berdasarkan UU (wetelijk basis vereist ); harus tertulis (moet schriftelijk);. Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk  melaksanakan (opdracht tot uitvoering); kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh  mandans(bevoeghdheid kan door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend worden); tidak  terjadi peralihan tanggung jawab (behooud van verantwoordelijkheid); tidak harus berdasarkan  UU (geen wetelijke basis vereist); dapat tertulis, dapat pula secara lisan.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, aspek kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh aparat pemerintah cirinya ada dua yaitu :
1. Kewenangan atributif (orisinal)
Ialah kewenangan yang diberikan langsung oleh peraturan perundang-undangan. Contoh : presiden berwenang membuat UU, Perpu, PP. kewenangan ini sifatnya permanent, saat berakhirnya kabur (obscure).
2. Kewenangan non atributif (non orisinal)
Kewenangan yang diberikan karena adanya pelimpahan/peralihan wewenang. Contoh : Dekan sebagai pengambil kebijakan, wakil dekan bidang akademik/kurikulum, sewaktu-waktu dekan umroh dan menugaskan PD1
Dalam hukum tata pemerintahan pelimpahan wewenang ada 2 (dua) yakni :
  1. Mandat, pemberi mandat dinamakan mandans, penerimanya dinamakanmandataris. Dalam mandat hanya sebagian wewenang yang dilimpahkan dan yang terpenting adalah tanggung jawab/pertanggungjawaban  tetap pada sipemilik wewenang. Dalam HTP jika mandat digugat, yang digugat ialah pemberi mandat dan penerima mandat. Contoh : Dosen pengampu memberi mandat pada asistennya untuk mengadakan ujian, tetap yang berwenang memberi nilai tetap dosen bukan asistennya.
  2. Delegasi, pemberi delegasi namanya delegans, penerimanya dinamakan delegatoris. Dalam delegasi semua wewenang beralih pada sipenerima delegasi termasuk pertanggungjawaban. Dalam HTP jika delegasi digugat makahanya satu yakni sipenerima delegasi. Untuk memperjelas delegasi Ten Berge, menyatakan bahwa syarat-syarat delegasi antara lain : a). Delegasi harus definitif, artinya deleganstidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu, b). Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. 3). Delgasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankannya adanya delegasi. 4). Kewajiban memebri keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. 5). Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Contoh : ketika Bupati mengadakan Haji/umroh, mendeelgasikan wakil bupati untuk melaksanakan semua kewenangan yang dimiliki Bupati.
Kewenangan yang non orisinil itu sifatnya insedantal, tidak permanen. Dalam HTP juga mengatur mengenai ketidakwenangan aparat, apa penyebab aparat tidak berwenang(onbevoegdheid) ada 3 yakni :
  1. Ratione Material, aparat pemerintah tidak berwenang karena isi/materi kewenangan tersebut. Contoh : Wapres Jusuf Kalla membuat Kewapres, namun tidak sah karena kepres monopoli Presiden.
  2. Ratione Loccus, aparat pemerintah tidak berwenang kaitannya dengan wilayah hukum. Contoh : Keputusan Walikota Sleman tidak sah diberlakukan di wilayah Bantul.
  3. 3.      Ratione temporis, aparat pemerintah tidak berwenang karena daluwarsa atau telah lewat waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh : kewenangan PTUN mempunyai jangka waktu 40 hari.

Referensi :
Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
SF.Marbun dan Moh Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,Liberty, Yogyakarta.
SF, Marbun 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, FH  UII Press, Yogyakarta.
Titik Triwulan Tutik, 2012, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

sumber ; http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2013/12/10/sumber-kewenangan-atribusi-delegasi-dan-mandat/

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KOMPETENSI
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh :
Edi Pranoto, SH.M.Hum
( Dosen Bagian HAN FH UNTAG Semarang )

Didalam pustaka hukum kompetensi peradilan  termauk Peradilan Tata Usaha Negara dibagi menjadi 2 ( dua ) macam yaitu :
A.     Kompetensi Absolute
yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu  dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan  lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Keputusan tata usaha Negara yang dapat digugatkan di PTUN adalah sebagaimana yang tersebut dalam :
( Pasal 1 angka 3 + Pasal 3 ) – ( Pasal 2 + Pasal 49 )
Dengan dengan terhadap keputusan tata usaha Negara yang masuk dalam Pasal 2 UU 5/1986 termasuk perubahannya tidak dapat digugat di PTUN, demikian pula terhadap keputusan yang dikeluarkan sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 pengadilan tidak berwenang untuk mengadili.
Pasal 2 UU 5/1986 dan perubahannya disebutkan bahwa tidak termasuk pengertian keputusan tata usaha Negara dalam undang-undang adalah :
a.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
Contoh :
Pemerintah melakukan jual beli , wanprestasi , gadai dll perbuatan yang didasarkan pada kaidah hukum perdata kalau ada sengketa PTUN tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus

b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Contoh :
PERDA tentang MIRAS , maka apabila ada pihak yang merasa dirugikan gugatannya tidak ke PTUN, terus kemana untuk menguji terhadap peraturan perundang-undangan :
·         Dibawah Undang- Undang, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung.
·         Undang- Undang keatas, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi.

c.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Jenis keputusan ini adalah keputusan yang belum final sehingga belum memiliki akibat hukum.
Contoh :
Keputusan Walikota Semarang tentang Pemberhentian SEKDA yang klausulnya bahwa “ keputusan ini akan berlaku sejak mendapat persetujuan dari Gubernur “, maka ketika keputusan tersebut belum mendapat persetujuan Gubernur maka keputusan itu belum mengikat, sehingga belum memiliki kekuatan hukum.

d.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHAP ; KUHP dan peraturan lain yang bersifat hukum pidana.
Contoh :
Keputusan KAPOLRESTABES Semarang untuk menangkap si A karena diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, maka apabila si A merasa dirugikan upaya pencarian keadilannya bukan ke PTUN namun melalui lembaga pra peradilan di Peradilan Umum ;

e.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f.        Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Negara Tentara Nasional Indonesia.

g.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat maupun di daerah , mengenai hasil pemilihan umum.

Sekali lagi PTUN tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa terhadap keputusan- keputusan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 diatas.

Dalam Pasal 49 disebutkan bahwa  pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.      Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B.      Kompetensi relative
yaitu kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan.
Kewenangan tersebut terletak dipengadilan  manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan  perkara tertentu. Sedangkan kompetensi relative Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 54 ayat 1 s/d 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan :
1.      Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Contoh :
Bila Penggugat  beralamat di kota Surabaya, sedangkan Tergugat adalah Walikota Semarang , maka menurut ketentuan ayat ini gugatan diajukan di PTUN Semarang, karena Walikota Semarang berkedudukan di daerah hukum PTUN Semarang.

2.      Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara danberkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Contoh :
Bila Penggugat beralamat di Semarang, sedangkan yang digugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang ( Tergugat I ) , Kakanwil BPN Provinsi Jawa Tengah ( Tergugat II ) ; Tergugat III ( Kepala BPN Pusat ) ; Tergugat IV ( Presiden ) , maka gugatann dapat diajukan di :
a.      PTUN Semarang , yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat , atau
b.      PTUN Jakarta , yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat.
Yang perlu diperhatikan dalam menentukan pengadilan yang akan mengadili adalah kedekatan dengan saksi maupun obyek yang disengketakan.

3.      Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada  dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Contoh :
Penggugat kedudukannya didaerah hukum PTUN Makasar, sedangkan Tergugat kedudukannya di daerah hukum PTUN Semarang, maka gugatan dapat diajukan ke PTUN Makasar untuk selanjutnya diteruskan ke PTUN Semarang.
Hal ini karena untuk mengajukan gugatan di PTUN dibatasi waktu, sehingga agar tidak lewat waktu maka dipergunakan pengadilan perantara, hitungan waktunya adalah sejak Penggugat mendaftarkan perkara di pengadilan perantara yaitu PTUN Makasar.

4.      Dalam hal – hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

5.      Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta ;

6. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat diluar negeri , gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.

sumber : http://www.edipranoto.com/2011/04/kompetensi-ptun.html

TATA CARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    LATAR BELAKANG
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
1.2    RUMUSAN MASALAH
Bagaimana tata cara bergerkara pada badan peradilan tata usaha Negara?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.TATA CARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
2.3.1   PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN
UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokok-pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
1      Tempat Mengajukan Gugatan
Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya, kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 54.
-        Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat
-        Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
-        Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
-        Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
-        Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
-        Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.
2      Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara
Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekuranglengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:
-        Biaya Kepaniteraan
-        Biaya Materai
-        Biaya Saksi
-        Biaya Saksi Ahli
-        Biaya Alih Bahasa
-        Biaya Pemeriksaan Setempat
-        Biaya lain untuk Penebusan Perkara
Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.
Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.
Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.
Selanjutnya berkas perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua Pengadilan untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, beracara cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.
2.3.2   PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN
Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada 3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:

Tahap I
Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut
Tahap II
Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua memeriksa gugatan tersebut antara lain:
i.      Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal. Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dismissal, makaperkara tersebut dapat diperiksa dengan acara biasa dan dapat pula ditunjuk Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
ii.      Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat mengeluarkan penetapan.
iii.      Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan mengeluarkan Penetapan
iv.      Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.
v.      Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.
Tahap III
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.
Tahap IV
Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan.yang terbuka untuk umum.



2.2.UPAYA HUKUM
2.2.1. PROSEDUR dan TAHAPAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I.          Melalui Upaya Administrasi:
1        Definisi
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
2.      Dasar Hukum
Di dalam UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 diatur dalam Pasal 48, yang berbunyi:
1)   Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
2)   Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
3.      Bentuk Upaya Administrasi serta cara penilaian:
Berdasarkan penjelasan Pasal 48 UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, disebutkan adanya dua bentuk upaya administrasi, yaitu:
(1)  Banding administratif
Jika seseorang atau badan hukum perdata tidak puas dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat melakukan upaya administrasi. Prosedur upaya administrasi tersebut harus dilaksanakan di dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan ”Banding Administrasi”.
Contoh banding administratif antara lain:
-        Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan “Regeling van het beroep in belastings zaken”, Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
-        Keputusan Panitia Penyelesaian perselisihan Perburuhan Pusat Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Keputusan Gubemur berdasarkan pasal10 Ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 No. 226.
(2)   Keberatan
Adalah suatu prosedur penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut.
Contoh:
- Pasal 27 UU No.9/1994 tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Perpajakan.
Prosedurnya dilakukan dengan penilaian secara lengkap oleh instansi yang mengurus, Lengkap di sini berarti dinilai dari segi hukum dan dari kebijaksanaan, sedangkan penilaian di Pengadilan hanya dari segi hukum saja.
i.            Cara Untuk Membedakan Suatu Sengketa Harus Diselesaikan Melalui Banding Administratif atau Keberatan
Untuk dapat membedakannya, maka dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelesaikannya. Atas hal ini terbagi atas dua kemungkinan, yaitu:
a.       Banding Administratif, apabila diselesaikan oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.
b.      Keberatan, apabila diselesaikan oleh instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
II.       Upaya Hukum Atas Upaya Hukum Administrasi dan Keberatan
Pada Penjelasan Pasal 48 Ayat (2) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, dinyatakan bahwa:
“Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan”.
Upaya yang dapat ditempuh tersebut antara lain:
a.            Setelah upaya Banding administratif, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat I/pertama (Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
b.            Setelah melalui upaya Keberatan, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
III.    Sisi Positif dan Negatif Atas Lembaga Upaya Administratif’
-        Sisi positif lembaga upaya administratif adalah:
Menilai lengkap suatu keputusan, baik dari aspek legalitas (rechtmatigheid) maupun aspek opportunitas (doelmatigheid), sehingga para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah seperti halnya di Pengadilan, tapi dengan pendekatan musyawarah.
-        Sisi negatif lembaga upaya administratif adalah:
Permasalahan dapat saja terjadi pada tingkat obyektivitas penilaian. Hal ini karena badan Tata Usaha Negara yang menerbitkan surat Keputusan bisa saja terkait kepada kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung kepada Keputusan yang dikeluarkannya tersebut.
Bergesernya kedudukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjadi instansi pertama terhadap sengketa yang menempuh banding administratif, dapat mengakibatkan:
-        Pencari keadilan akan kehilangan satu tingkatan atau kesempatan memperoleh saluran Peradilan Administrasi;
-        Ada kemungkinan sebagian besar sengketa administrasi akan lebih banyak mengalir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
1      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN);
2      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.35/1999 dan kemudian dirubah lagi oleh UU No.4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman);
3      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA);
4      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.8/2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum);

SUMBER : 
http://sonyadityawarman.blogspot.com/2011/09/tata-cara-berperkara-pada-badan.html